Di sebuah wilayah perdesaan yaitu Bukit Buai Tapan, yang merupakan sebuah Nagari kecil yang terletak di Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan. Pada tanggal 25 hingga 27 Juli 2025, jauh dari hiruk-pikuk kota dan penuh kebisingan lalu lintas, sekelompok mahasiswa, tokoh dan pemimpin lokal, petani, dan warga masyarakat berkumpul dalam rangka bukan demi menyelesaikan suatu kepentingan, melainkan untuk bersama-sama dalam pemberdayaan kembali dengan memikirkan bagaimana desa tumbuh, menyembuhkan, dan merancang masa depannya.
Gambar 1: Foto bersama Mahasiswa KKN Unand,dosen pembimbing lapangan, dan masyarakat Bukit Buai Tapan
Ini bukan sekedar kegiatan sosialisasi sesaat. Ini adalah inisiatif yang didorong oleh gagasan besar: bahwa pembangunan sejati harus dimulai dari dalam, menggabungkan kearifan lokal dengan alat-alat modern, dan bahwa orang-orang yang paling tepat untuk membentuk masa depan suatu komunitas adalah mereka yang tinggal di dalamnya. Inilah semangat dari Program pengabdian Kepada Masyarakat Terintegrasi dengan Kegiatan Mahasiswa (PKM-TKM) yang didukung oleh Universitas Andalas.
Saat tim pertama kali tiba, tampak jelas bahwa Bukit Buai, seperti banyak daerah pedesaan lainny, menghadapi serangkaian masalah yang umumnya sering dihadapi pada masa sekarang: kurangnya data spasial yang mutakhir, minimnya pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA), dan belum optimalnya pengelolaan sampah rumah tangga menjadi kompos.
Masalah-masalah ini tampak berbeda di permukaan. Namun pada kenyataanny, semua mengarah pada satu kesenjangan yang lebih dalam, yaitu kurangnya penjembatanan antara pengetahuan yang telah dimiliki masyarakat dengan alat-alat yang dapat memperkuat pengetahuan tersebut. Tanpa data yang terstruktur, pemimpin lokal kesulitan merencanakan secara akurat. Tanpa TOGA, keluarga kehilangan warisan pengetahuan pengobatan alami.
Tanpa strategi pengomposan (Kompos), sampah organik yang berharga justru terbuang sia-sia.Dengan begitu, disinilah PKM-TKM hadir sebagai solusi kolaboratif.
Kegiatan pelaksanaan program yang pertama dimulai dengan rancangan pembuatan peta yang merupakan hal krusial dan penting untuk dikerjakan dengan kolaborasi semua pihak yang terlibat.
Pada hari Jum'at 25 Juli 2025, sebanyak 15 perangkat nagari, satu dosen pembimbing lapangan, dan 18 mahasiswa Universitas Andalas berkumpul untuk belajar dan bekerja sama dalam pembuatan peta spasial digital. Dengan bimbingan dari Alvin Pratama, S.Si., M.T., seorang ahli GIS, kami memperkenalkan perangkat lunak ArcGIS untuk memetakan batas administrasi, lahan pertanian, sumber air, dan lainnya.
Namun yang membuat sesi ini istimewa bukan sekadar teknologinya. Melainkan bagaimana prosesnya menjadi sangat rumit dengan data-data spasial yang kebanyakan ada yang bersifat data personal.
Warga mulai bercerita tentang bukit-bukit, sungai, dan jalan setapak yang telah digunakan secara turun-temurun.Pengalaman hidup mereka memberi nyawa pada data spasial. Tiba-tiba, peta itu bukan lagi sekadar titik dan garis tetapi menjadi cerita tentang tempat, ingatan, dan identitas. Hasilnya kemudian dimasukkan ke dalam platform web SINAR (Sistem Informasi Nagari) yang dikembangkan oleh Dinas Kominfo Kabupaten Pesisir Selatan.
Pada hari itu pula, masyarakat melihat masa depan bukan sebagai sesuatu yang jauh, tetapi sesuatu yang bisa mereka pahami, kendalikan, dan arahkan sendiri.
Gambar 2: praktisi Kompos oleh mahasiswa KKN Unand di depan Masyarakat
Tanggal 26 Juli, fokus berpindah dari data ke tanah secara harfiah. Pengomposan mungkin terdengar sederhana, namun di Bukit Buai, hal ini menjadi pengalaman yang menyadarkan.
Sebanyak 35 petani lokal, 3 kelompok wanita tani (KWT), serta perwakilan dari BAMUS dan Bundo Kanduang berkumpul dalam pelatihan langsung pembuatan kompos dari limbah organik rumah tangga. Tujuannya sederhana: mengubah sampah dapur dan kebun menjadi pupuk alami yang subur.
Gambar 3: foto bersama setelah praktisi Kompos
Namun di balik teknisnya, yang terjadi justru rekoneksi budaya. Saat peserta mengaduk daun kering, sisa makanan, dan limbah organik menjadi kompos, muncul cerita-cerita lama tentang bagaimana nenek moyang dulu mengubur sampah organik di pekarangan, tentang kesuburan tanah yang kini mulai hilang, tentang ketergantungan pada pupuk kimia yang mengikis cara bertani tradisional.
Kami sebenarnya tidak mengajarkan hal baru kami membantu masyarakat untuk mengingat.Pelatihan ditutup dengan rencana membangun titik kompos bersama dan distribusi starter kit ke rumah-rumah. Seorang petani, Pak Roni, berkata, “Selama ini kita buang emas setiap hari. Sekarang, kita pakai untuk menumbuhkan kehidupan lagi.”
Gambar 4: Pengerjaan dan penyelesaian TOGA bersama Mahasiswa KKN Unand dan masyarakat Bukit Buai Tapan
Hari terakhir, 27 Juli, berlangsung lebih tenang. Di bawah pohon rindang di belakang balai nagari, kami mengadakan sesi penanaman dan pelatihan TOGA. TOGA, Tanaman Obat Keluarga bukan hal baru. Penggunaan tanaman seperti jahe, kunyit, serai, daun sirih, dan lengkuas telah lama menjadi bagian dari budaya Minangkabau. Namun, kini banyak yang sudah melupakannya, tergantikan oleh obat pabrik. Apa yang kami lakukan adalah membangkitkan kembali pengetahuan itu, dan menjadikannya bagian dari gaya hidup sehat berbasis kearifan lokal.
Gambar 5: Foto dokumentasi dalam penyelesaian TOGA
Sebanyak 30 peserta terdiri dari ibu rumah tangga, kader kesehatan, dan tokoh adat ikut menanam TOGA di pekarangan dan lahan bersama. Tak hanya menanam, kami juga berdiskusi tentang khasiat masing-masing tanaman, cara penggunaannya, dan pentingnya ditanam kembali di setiap rumah.
Di akhir sesi, sebuah taman TOGA komunitas berdiri, dan yang lebih penting: muncul komitmen untuk menghidupkan kembali warisan penyembuhan ini di tengah masyarakat modern.
Selama tiga hari kegiatan, prinsip yang kami pegang adalah: partisipatif, bukan instruktif. Kami tidak datang untuk “mengajar” masyarakat, melainkan untuk mendengar, bekerja sama, dan memfasilitasi. Setiap langkah dirancang bersama warga, dengan tujuan agar semua hasil peta digital, kompos, dan kebun TOGA menjadi milik dan tanggung jawab mereka sendiri. dan meskipun program ini resmi hanya berlangsung tiga hari, efeknya diharapkan dapat berlanjut. Kini nagari memiliki dashboard digital, petani mulai mengolah sampah menjadi pupuk, dan keluarga menanam TOGA di pekarangan mereka.
Inilah awal dari perubahan berkelanjutan: desa yang lebih cerdas, sehat, dan mandiri berdasarkan pengetahuan lokal, didukung oleh inovasi yang relevan.
Program ini terlaksana berkat dukungan penuh dari Universitas Andalas melalui Skema PKM-TKM Batch II Tahun Anggaran 2025. Komitmen universitas dalam menjembatani dunia akademik dengan masyarakat menjadi pilar penting keberhasilan kegiatan ini.
Ke depannya, tim PKM-TKM berencana untuk kembali dan memperluas cakupan kegiatan mungkin dengan modul baru seperti ekowisata, kewirausahaan lokal, atau edukasi TOGA berbasis sekolah. Namun untuk saat ini, benih-benih perubahan telah ditanam baik secara harfiah maupun maknawi.
Gambar 6: Foto bersama dengan perangkat desa nagari dan masyarakat lainnya
Di Bukit Buai, kami tidak hanya menyelesaikan sebuah proyek. Kami menyaksikan kekuatan gotong royong, tradisi, dan tujuan bersama. Dan dari pengalaman itu, kami belajar satu hal yang sangat berarti:Perubahan sejati dimulai ketika masyarakat percaya pada nilai dari apa yang sudah mereka miliki.